Ku-klik - Lelaki itu sedang duduk di teras belakang lantai dua rumah pribadinya. Ia tampak khusuk memandang langit. Di tangannya, sebuah buku digenggam. Terselip di buku, pulpen hitam yang menjadi pembatas sebuah catatan.
Merasa tak mendapat sesuatu dari hampaan langit, ia beralih pada kebun pisang yang warna daun-daunnya di malam hari ini, tak jelas mana yang coklat mana yang hijau. Tak dapat apa-apa juga. Ia kembali melihat langit.
Segaris senyum lalu terbentuk. Kali ini, setelah lama ia menilik bulan dan selaput awan. Diseruputnya kopi hitam yang sudah tidak mengeluarkan uap. Buku di tangan itu pun terbuka. Tutup bulpen juga. Catatan itu sepertinya akan lancar, sebelum ia terbentur oleh kedalaman perasaan.
Dimanakah kata ‘bulan’ mesti diletakkan? Di depankah? Sehingga menjadi “Bulan mengintip dari balik gaun tipis sang awan malam”, atau di belakang saja, “di balik gaun tipis awan malam, bulan mengintip”.
Kalau dilihat dari sisi suasana yang muncul, kalimat kedua sepertinya lebih baik. Baiklah, itu saja. Tidak. Yang pertama saja. Ya, yang pertama saja. Tapi, kata ‘mengintip’ itu, tidakkah terlalu…apa istilahnya…girly. Terlalu manis. Seakan-akan bulan itu adalah gadis kecil yang baru belajar jatuh cinta, yang mengintip dari celah gorden jendela kamarnya seorang pemuda tampan yang tinggal di seberang rumah.
Tidak. Aku tidak boleh terlihat ‘manis’ di depannya. Setidaknya, jangan terlalu terang-terangan. Coba ganti kata. Misalnya ‘menatap’. Ah, terlalu garang. Terlalu serius. Aku memang serius, tapi jangan terlalu terang-terangan. Bagaimana dengan ‘menyembul’. Cih, nanti dikira bulan adalah bisul. Nah, coba ‘menyibak’. Hmm…Cukup elegan. Cukup anggun. Dan tidak cengeng. Tapi, kata itu mesti memerlukan objek. Apa kah yang pantas menjadi objeknya?
Lelaki itu membaca dalam hati catatannya yang hanya satu kalimat. Berulang-ulang. Ia bahkan merasa perlu mengucapkannya. Tidak keras. Sekadar gerak bibir.
Kata ‘dari’ dihilangkan saja. Jadi kalimatnya akan seperti ini “bulan menyibak gaun tipis awan malam”. Huh, kata ‘gaun’ itu, nanti dikira cabul.
Memang bukan maksudku, tapi bisa saja ia salah menafsirkan. Atau perlu kujelaskan; gaun adalah keanggunan, dan perasaan memang selayaknya menyandang itu. Ah, tidak. Biarkan ia membaca dengan caranya. Tapi, jelas, kata ini sebaiknya diganti. Kata ‘tabir’ mungkin bagus. Yah bagus. Dan tidak ada kemungkinan ia menganggap diriku cabul.
Terdengar gesekan cepat mata bulpen di kertas. Tertulislah satu kalimat kini, satu kalimat yang lelaki itu yakini telah sangat utuh mewakili perasaan dan pemikirannya. Bulan menyibak tabir tipis awan malam.
Buku kecil itu ditutup dengan bulpen masih menyangkut. Lelaki itu menarik napas panjang. Ia mengambil kopinya, lalu meninggalkan teras belakang setelah melihat sekali lagi bulan samar karena dikerubuti awan tipis.
Esok hari, seusai pulang kerja dan melepas seragam kantor, lelaki itu kembali berusaha kuat merenung. Sampai turunlah malam, yang akhirnya menjadi malam yang sungguh berat baginya. Ia ingin sesegera mungkin perasaan dan pikirannya dibaca oleh seseorang.
Tapi, bahkan untuk memikirkan satu kata pun kepalanya sudah menuntut obat puyeng. Bisa saja ia mencontek dari beberapa buku puisi yang tersimpan di dalam kardus di bawah ranjang. Tinggal pilih. Tersedia gaya dalam negeri, China, Eropa, Amerika, dan sedikit Arab. Toh, dia tidak akan tahu. Pasti tidak akan tahu.
Namun, ia tidak ingin melakukannya. Prinsipnya akan terganggu. Cinta memang milik semua orang namun sejatinya ia adalah pengalaman masing-masing. Mengungkapkan cinta pribadi dengan pemikiran orang lain sama halnya dengan menjawab soal ujian dengan mencontek. Itu tidak fair. Begitulah anggapannya.
Maka, setelah merasa teras belakang tidak lagi mampu memberi apa-apa, lelaki itu memutuskan untuk memasukkan buku dan pulpen ke dalam tas kecil, yang lalu disandingnya. Beberapa menit kemudian, ia sudah menyusuri lajur kiri jalan dengan motor 3 tak-nya. Yah, segelas kopi di udara luar mungkin punya banyak kata.
Di sebuah kedai kopi yang memasang meja kursi di teras depan, pinggir jalan, tanpa atap, lelaki itu memarkir motor. Ia duduk di tempat yang kosong; dekat pagar halaman dan menghadap ke jalan. Di belakangnya duduk dua pria berbadan besar. Beberapa meja ke kiri, tiga orang perempuan muda cekakak-cekikik entah apa sebab. Ramai pemuda berkerumum di meja di hadapan meja gadis-gadis muda, tampak berbicang-bincang setengah serius. Tapi, lelaki itu tidak terlalu ingin memerhatikan mereka semua.
Setelah seorang pelayan lelaki datang ke mejanya, menanyakan pesanan, dan ia jawab lekas “tubruk”, ia pun memulai niatnya; tenggelam dalam pencarian kata. Dari deru motor dan mobil, dari lampu-lampu merah-kuning-hijau-kecil-besar, dari suara serak pengamen yang bebas berkeliaran, dari segala tulisan yang terpampang di toko-toko di hadapan, dari hamparan langit hitam yang hanya bernoda satu bintang, lelaki itu berharap menemukan susunan kalimat.
Satu-satunya yang sempat mengganggunya adalah ketika pelayan lelaki kembali dengan membawa pesanan. Tidak mengganggu sesungguhnya, karena ia juga berharap menemukan yang dicarinya dalam pahit kopi tubruk yang ia tuangi gula tiga seperempat sendok teh.
Mungkin 15 menit ia menjelma seperti patung pancuran kencing. Ada tapi tak ada. Beberapa orang memang sempat melihatnya, namun, yah, dia cuma patung pancuran kencing. Kondisi ini sejatinya menguntungkan. Tanpa merasa risih, ia mengeluarkan buku dan bulpoin, lalu mengaksarakan hasil pertapaan. Cepat ia menulisnya. Seakan-akan, bila terlambat beberapa hembusan napas saja, kata-kata itu akan terurai hilang bersama angin malam.
Akhirnya, dengan tersenyum kecil, ia melangkah ke kasir, membayar, dan pergi. Sebelum sampai di rumah, ia menyempatkan diri untuk membeli martabak telor. Karena martabak telor itu memang enak, sudah sewajarnya ia mengantre. Tapi, itu tidak menghambatnya untuk berbahagia.
Di rumah, ia menulis ulang tulisan di buku pada sebuah kertas coklat tua. Kertas putih menurutnya terlalu biasa. Perlu ada nilai estetika secara fisik untuk hal-hal mengenai perasaan, dan kertas coklat tua itu, baginya adalah suatu pelambang kealamian perasaan.
Pelan-pelan ia menulis. Pelan-pelan sekali. Setiap huruf kapital harus diberi ekor. Pulpennya pun yang spesial, bukan yang tadi ia gunakan. Pulpen yang ini, yang hanya ia gunakan untuk mendandatangani buku pribadi, punya mata bisa memekatkan tinta. Aksara pun jadi lebih eksotik. Lalu, setengah jam berlalu. Lelaki itu akhirnya menuntaskan kabar perasaannya dengan sebuah lipatan kertas yang lembut dan hati-hati.
Dengan sepiring martabak telor yang mulai mendingin dan kopi hitam murahan, lelaki itu melangkah ke teras belakang. Tak ada yang bisa menghentikan senyumnya kali ini. Nama-nama toko itu begitu hebat, sangat inspratif. Tak ada yang perlu diubah. Kata-kata ini sudah sempurna. Kebahagiannya memang tidak bisa diganggu, pun oleh mendung yang mulai menutupi satu-satunya bintang.
**********
Pintu rumah kontrakan yang terletak dua rumah dari muka gang itu diketuk pekerja pos. Seorang gadis muda berbehel gigi membuka pintu dan tampak bingung saat disodorkan sebuah surat. Ia perlu beberapa saat demi memastikan bahwa surat itu memang tidak salah alamat. Setelah yakin, ia kemudian menandatangani lembar penerimaan. Pekerja pos pun berlalu.
Seorang gadis lain yang berkacamata bulat besar –bukan kacamata yang dipakai kakek-kakek-, datang menghampir gadis berbehel, melempar tanya “Apaan tuh?”
Gadis berbehel mengatakan satu-satunya jawaban yang pasti.
“Buat Ive. Mana Ive?”
“Masih mandi”
Lalu mereka membiarkan saja surat itu tergeletak di atas kasur sampai gadis berkaca mata merasa memiliki ide cemerlang. “Buka aja yuk”. Ia tentu gadis yang memiliki sifat selalu ingin tahu dan penasaran. Satu karakter yang baik tentunya. Penyalahgunaan karakter baik itu bisa membuat gadis tersebut seorang penggosip hebat.
Temannya tidak menolak. Mereka pun membukanya. Mereka pun membaca. Meledaklah tawa mereka. Pada saat bersamaan, yang berhak atas surat tersebut keluar dari kamar mandi. Gadis berkaca mata segera melantunkan yang tertera di surat dengan gaya seorang penyair klasik.
“Teruntuk, Ive –ia yang garis senyumnya adalah putih bulan purnama
Terpujilah para serdadu yang menembak dan ditembak peluru, sehingga kita bisa merdeka bertemu.
Terpujilah Gajah Mada yang menyatukan Nusantara sehingga kita punya latar sejarah yang sama. Terpujilah Mutiara yang terbentuk dari tangis Kerang, demi ada (semoga) di jemarimu. Terpujilah bintang kecil yang bisa bersama kita lihat meski berlainan tempat.
Bulan menyibak tabik tipis awan malam. Terpujilah baginya karena aku diizinkan mengambilnya untuk menaungi gelap malammu.
Ive segera bergegas merebut surat. Gadis berkaca mata membiarkan untuk lalu terpingkal di atas kasur. Gadis berbehel, yang selalu menghargai segala bentuk romantisme, bertanya “memangnya dari siapa sih?”.
Tapi jelas, ia tidak bisa menahan cekikikannya. Awalnya, Ive tidak berniat memberi tahu. Ia pasti akan menjadi bahan ejekan. Namun, setelah menimbang semua ini dari sisi keleluconan duniawi, ia pun menjawab “dari kepala sekolah itu”.
“Tempat magang ngajar?”
Ive mengangguk.
“Yang umurnya lima puluh tahun?”
Ive mengangguk.
Semua tertawa. Ada yang mengucapkan “tua-tua keladi”. Entah siapa. Ive tertawa juga. Segala macam kalimat pun meluncur deras dari bibir-bibir muda mereka. Silih berganti. Silang menyilang. Sampai handphone salah seorang berbunyi.
“Beib mau jemput sekarang? 15 menit lagi ya. Bawa mobil kan? Aku bertiga”.
Mereka lalu sibuk memilih sepatu. Surat itu, tidak jelas letaknya. Mungkin di bawah selimut, atau di atas dispenser, atau di dekat ember berisi pakaian kotor, atau...
Oleh: Abroorza Ahmad Yusra
Pontianak, Mei 2012 - See more at: http://news.okezone.com/read/2013/01/08/551/743075/kata-kata-dalam-sebuah-surat#sthash.HQNzzmLw.dpuf
0 komentar:
Posting Komentar