Cinta Dalam Butiran Kelepon

Anti Galau - Ah mengapa aku tidak seberuntung dirinya ya. Mbak wati begitu beruntung karena dia mendapatkan semua yang dia inginkan. Teman yang baik, orangtua yang sangat menyayanginya dan mampu memberikan apa yang dia minta. Seolah semua keinginanku dikabulkan…….dalam dirinya 
Aku terkejut dengan pikiranku sendiri. Pikiran itu tidak pernah lepas dariku, bahwa temanku lebih beruntung dariku, bahwa aku tidak beruntung, bahwa aku……ah… tentangku sangat sulit kuungkapkan. Ibarat mbak wati adalah angsa yang cantik, sedangkan aku hanyalah angsa buruk rupa. Ah Tuhan, mengapa aku sangat sulit untuk bersyukur? Apakah kehidupanku demikian buruknya sehingga yang bisa kuungkapkan hanyalah kata-kata keluhan?

Tartik….sedang apa kamu, ayo bantu ibu bikin jajan. Nanti kamu titipkan ke mbok yem ya. Jangan kamu makan sendiri, nanti setoran ke ibu bisa kurang…
Lagi-lagi ibu memanggilku untuk yang ke sekian kali. Sebenarnya aku sudah mendengarkan panggilannya dari tadi, hanya saja aku capek membantunya. Dan yang lebih parah lagi, aku capek dengan kemiskinan yang kualami ini. Mengapa Tuhan tidak menciptakan aku dalam keluarga yang kaya saja seperti keluarga mbak wati.

Tartik !!!!!!
Suara ibu kembali menggema. Dengan langkah malas aku pergi ke dapur. Sambil membantu ibu aku melamunkan kehidupanku yang “baru”. Seperti cerita di sinetron-sinetron, aku mengenakan baju baru yang indah sekali, kemana-mana aku dihantarkan oleh supirku dan aku bebas memilih makanan apapun yang kusuka. Aku membayangkan sebuah rumah yang besar dilengkapi dengan kolam renang. Wuih….pasti asyik bisa berenang di sana pada siang hari yang panas. Tapi bagaimana ya jika nanti kulitku menghitam? Ah… tidak apa-apa, toh ada alat yang bisa memutihkan kulit. Seperti yang dilakukan oleh para artis itu, menghamburkan uang yang dimiliki dengan perawatan di salon. Singkatnya, aku ga kalah dari mbak wati deh nantinya.

Tik, gulanya jangan lupa dimasukkan ke kleponnya…..
Tartik, gulanya…….
Tik…..tik…..
Oalah nduk, kowe kok ngelamun aja, ayo bangun
Ibu mengguncang-guncangkan tubuhku dengan cukup kencang sehingga membuatku terbangun dari lamunanku. Hancur sudah impianku tentang rumah mewah, baju-baju yang bagus dan mahal, serta kolam renang yang sangat kuidam-idamkan.
Aduh, ibuk ini kenapa to? Kok ndak bisa membiarkan anaknya senang.
Kowe dari tadi ngelamun opo tho, sampai-sampai gulanya ndak kamu masukkan dalam adonan klepon?
Aduh buk, aku lupa….maap-maap ya buk.
Buk, kenapa tho kita ndak kaya-kaya? Kenapa Tuhan membeda-bedakan orang. Apa aku ndak disayang sama Tuhan ya, kok aku dilahirkan dalam keadaan yang seperti ini. Aku iri sama mbak wati buk, orangtuanya kaya, orangnya pinter, makanya banyak orang yang berteman sama dia. Sedangkan aku cuma kayak gini.
Oalah nduk-nduk, kamu ini kenapa kok tanya yang ndak-ndak. Kehidupan kita ya emang sudah gini, sudah digariskan sama Tuhan yang kayak gini. Lagian kalau Tuhan menciptakan semua orang menjadi kaya, lha nanti siapa yang akan bekerja untuk mereka, siapa yang menyediakan beras untuk mereka, siapa yang bikin klepon untuk dinikmati sama mereka. Kita ndak bisa protes sama Tuhan nduk. Nanti kamu kualat lho.
Pokoknya aku mau protes sama Tuhan buk, Aku mau protes sampai Tuhan menjawab pertanyaanku. Aku mau protes sampai Tuhan mau mengabulkan permintaanku.
Ati-ati sama pikiranmu nduk, jangan sampai kamu kualat dan dihukum sama Tuhan.
Aku sudah ndak perduli. Aku sudah cukup sengsara seperti sekarang, ga ada lagi kesengsaraan yang bisa membuatku kaget.

Aku segera meninggalkan ibuku. Aku kecewa pada Tuhan yang kurasa tidak adil padaku. Aku berjanji dalam hati bahwa aku akan segera meninggalkan kemiskinanku ini. Aku tidak sudi menjadi orang miskin.
Tanpa sengaja aku menatap jam dinding. Ternyata sudah jam 7 pagi. Aku terlambat sekolah. Aku segera menyambar handuku dan bersiap untuk mandi ketika ibuku tiba tiba memanggilku lagi. “Tik jangan lupa kleponnya ya kalau berangkat sekolah”. Ah ibu, di tengah-tengah kepanikanku seperti ini, aku masih dibebani klepon. Apakah ibu tidak tahu bahwa aku sudah terlambat? Aku membayangkan seandainya aku punya pembantu, tentu aku saat ini sudah disiapkan seragam yang bersih dan sarapan dengan roti keju. Aih…enaknya. Kalau kuingat-ingat lagi seragamku yang kumal dan satu-satunya ini, aku jadi semakin benci dengan kehidupanku.
Duh….. bemonya mana sih….apa mereka ga tau kalau aku sudah telat. Seandainya saja aku punya sopir pribadi yang siap mengantarku kemana saja, tentu aku ga akan serepot ini. Aih… betapa tidak beruntungnya aku.
Aku merasa ada yang janggal dengan diriku. Aku merasa dunia tiba tiba berputar dan berputas semakin kencang dan lama-kelamaan terasa gelap.
Aku terbangun dan aku melihat ibu tertidur di pinggir kasur. Ibu nampaknya dapat merasakan kalau aku sudah bangun.

Nduk, kamu sudah bangun tho? Ibuk kuatir, kamu jatuh pingsan sewaktu kamu sedang menunggu bemo untuk berangkat sekolah. Untung ada bayu lewat. Dia kemudian membopongmu ke rumah sakit dan segera memberitahukan ibu. Kamu sudah tiga hari pingsan nduk.
Penjelasan ibu yang cukup lengkap membuatku tidak perlu menanyakan apa-apa lagi. Tapi masih ada yang terpikirkan di benakku. Bagaimana dengan biaya rumah sakitnya bu? Apa kita sanggup membayar? biaya rumah sakit kan tidak murah, bagaimana dengan jualan kleponnya bu?
Itu ndak usah kamu pkirkan. Yang penting kamu istirahat saja.
Hatiku yang kaku hancur mendengar kata-kata ibuku. Aku ingat bahwa aku adalah anak satu-satunya ibuku. Semenjak ayahku meninggal lima tahun yang lalu, ibuku berusaha mencukupi segala kebutuhanku dengan cara berjualan klepon. Walau kami tidak dapat dikatakan sebagai keluarga mampu, namun kebutuhan kami sehari-hari tertutupi dengan hasil jualan klepon. Jika tiga hari ibu menemaniku di sini, bagaimana dengan dagangan ibu, apakah ibu tidak berdagang hanya untuk menemaniku?

Aku merasa sangat bersalah pada ibuku karena aku malah menyakiti hatinya. Aku malah membebaninya dengan masalah yang tidak penting. Aku tidak pernah bersyukur bahwa aku mempunyai ibu yang sangat luar biasa karena membesarkan aku sendirian. Ternyata dibutuhkan sebuah penyakit untuk dapat menyadarkanku betapa aku harus bersyukur pada keadaan yang kuhadapi.

Buk, tartik minta maaf ya karena terlalu sering merepotkan ibu.
Kamu ndak salah nduk. Ibu yang minta maaf karena terlalu membebanimu dengan pekerjaan membuat klepon. Ibu juga minta maaf karena tidak mampu mencukupi kebutuhanmu nduk.
Sorenya aku sudah diperbolehkan pulang. Di dalam bemo aku masih tetap membayangkan betapa enaknya duduk di mobil yang ber-ac dan ada sopir yang mengantarku kemana-mana. Tapi aku menyadari bahwa kehidupan yang kumiliki saat ini lebih berharga daripada mobil mewah, kolam renang dan baju yang mahal. Aku mempunyai ibu yang sangat menyayangiku dan itulah yang utama. Ibu mau bekerja keras membuat klepon untuk memenuhi kebutuhan kami sehari-hari.
Cinta ibuku diwujudkan dalam butiran klepon. (Shanti Yanuarini)

Sumber: Kompasiana

0 komentar:

Posting Komentar